Staklim Yogyakarta Gelar FGD bersama Petani di Gunungkidul

  • Ibrahim
  • 12 Nov 2021
Staklim Yogyakarta Gelar FGD bersama Petani di Gunungkidul

YOGYAKARTA - Stasiun Klimatologi (Staklim) Yogyakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama para petani di Pedukuhan Sawahan II, Kalurahan Bleberan, Playen, Gunungkidul. FGD ini berlangsung pada Kamis (11/11/2021).

Stasiun Klimatologi Sleman Yogyakarta (BMKG) mempunyai tugas utama salah satunya memberikan informasi iklim di wilayah D.I. Yogyakarta. Tugas yang diemban cukup strategis sesuai dengan amanat Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang salah satunya adalah "pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika".

SLI merupakan salah satu upaya BMKG dalam Meningkatkan Literasi Iklim dan Diseminasi Informasi Untuk Pertanian, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2011, yaitu Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrem. SLI juga sejalan dengan program Nawacita Pemerintah, yaitu program Nawacita ke tujuh Mewujudkan Kemandirian Ekonomi.

Kepala Staklim BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menjelaskan FGD ini merupakan tindak lanjut dari program Sekolah Lapang Iklim (SLI), yang dilaksanakan pada April lalu.

"Pelaksanaannya kami lakukan di Playen ini dan Kretek, Bantul," kata Reni usai kegiatan dilakukan.

SLI adalah program besutan BMKG dalam rangka memberi edukasi dan pemahaman tentang iklim pada petani hingga nelayan. Tujuannya, untuk meningkatkan produktivitas hingga kualitas hasil pertanian dan perikanan.

Pasca pelaksanaan SLI, Reni menyatakan ada peningkatan produksi pada hasil panen petani yang menjadi peserta. Terutama para petani kedelai di Bleberan, Playen tersebut.

"Ada peningkatan hasil panen kedelai sebesar 9 persen di tahun ini bila dibandingkan dengan 2020 lalu," ungkapnya.

Adapun pada 2020 lalu, hasil panen kedelai di Bleberan mencapai 1,4 ton per hektare (ha). Namun di tahun berikutnya hasil panen meningkat menjadi hingga 1.525 ton per ha.

Selain itu, terjadi peningkatan komoditas lain yaitu bawang merah. Pada komoditas tersebut terjadi peningkatan panen sebesar 15% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2020).

Peningkatan tersebut membuat pendapatan petani pun ikut bertambah. Tak hanya itu, pengetahuan dan wawasan petani tentang iklim dan cuaca pun meningkat hingga 26 persen.

"Sebelum mengikuti SLI pemahamannya 65 persen, namun setelahnya menjadi 91 persen," kata Reni.

Ia mengatakan FGD ini menjadi ruang bagi petani peserta SLI untuk memberikan saran dan masukan terkait program tersebut.

Hasil program SLI pun turut dipamerkan dalam bentuk Ekspose di halaman Balai Pedukuhan Sawahan II.

Reni mengatakan program SLI akan terus dilakukan guna meningkatkan pemahaman petani akan perubahan cuaca dan iklim. Sejak mulai dilaksanakan pada 2017 lalu, sudah 380 peserta yang menjadi alumni program SLI.

"Secara nasional, hingga September lalu ada 15.300 orang alumni SLI," ujarnya.

Kepala Bidang Penyuluhan, Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Gunungkidul, drh. Retno Widyastuti menilai SLI memberikan manfaat besar bagi sektor pertanian. Sebab iklim jadi salah satu faktor penentu dalam produktivitas hasil pangan.

Menurutnya, hanya faktor iklim yang tidak bisa diatur dalam pertanian. Itu sebabnya, pemahaman penting bagi petani agar mereka bisa cepat beradaptasi dengan perubahan cuaca hingga iklim yang tengah terjadi.

"Secara otomatis akan mengubah pola pikir hingga kebiasaan mereka di bidang pertanian," kata Retno.

 

Gempabumi Terkini

  • 21 Mei 2024, 02:42:13 WIB
  • 5.3
  • 10 km
  • 9.28 LS - 112.61 BT
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024