Rawan Bencana, BMKG Dorong Pemerintah Sulteng Revisi Tata Ruang Wilayah

  • Humas
  • 19 Okt 2018
Rawan Bencana, BMKG Dorong Pemerintah Sulteng Revisi Tata Ruang Wilayah

PALU (19 Oktober 2018) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendorong Pemerintah Sulawesi Tengah merevisi tata ruang wilayah di kawasan rawan bencana. Hal ini dilakukan guna mengurangi risiko kerugian materil dan korban jiwa akibat bencana alam yang mengintai Sulawesi Tengah.

"Revisi ini perlu segera dilakukan agar dampak dari kejadian yang lalu (gempa dan tsunami-red) tidak terulang kembali. Bukan cuma Sulawesi Tengah, tapi juga wilayah lain di Indonesia yang masuk dalam kategori rawan bencana alam," ungkap Kepala BMKG saat kunjungan pemantauan kerentanan kegempaan di Palu, Sulawesi Tengah, Jum'at (19/10).

Dalam kunjungan kerjanya, Dwikorita menyambangi sejumlah titik kerusakan akibat gempa dan tsunami antara lain Pantai Talise, Perumnas Balaroa, Palu Grand Mall & Grand Mercure Hotel.

Dwikorita mengatakan penataan ruang memiliki peran besar dalam upaya mitigasi bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengatur pengendalian dan pemanfaatan sebuah kawasan apakah layak dijadikan tempat pemukiman atau tidak. Oleh karena itu, kata Dwikorita, dalam perencanaan tata ruang hendaknya mempertimbangkan peta bencana, khususnya kondisi kerentanan tanah terhadap gempa, likuifaksi dan longsoran serta banjir bandang di wilayah tersebut.

Jangan sampai, tambah dia, atas dasar kebutuhan tempat tinggal penduduk atau motif ekonomi politik, wilayah yang seharusnya tidak ditinggali justru menjadi kawasan pemukiman padat penduduk. Menurutnya, perlu pengawasan ketat agar rencana tata ruang tersebut benar-benar dijadikan acuan dalam rencana pembangunan.

"BMKG juga merekomendasikan pembangunan fasilitas perlindungan tsunami di kawasan pantai Sulteng. Fasilitas tersebut untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat serta mengurangi resiko dari bencana tsunami itu," ujarnya.

Sulteng Rawan Gempa Tsunami

Sementara itu, Kepala Stasiun Geofisika Palu, Sulawesi Tengah Cahyo menerangkan bahwa Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu dan Donggala adalah kawasan rawan gempa dan tsunami. Sebelum Tsunami Donggala September lalu, berdasarkan data yang dimiliki BMKG, di Sulawesi Tengah pernah terjadi sekurangnya lima kali gempa yang disusul oleh tsunami.

Gempa dan tsunami tersebut masing-masing terjadi di tahun 1921, tahun 1927, tahun 1938, tahun 1968, dan tahun 1966. Seluruh gempa berkekuatan diatas 6 magnitudo, sementara tinggi tsunami berkisar 1 hingga 15 meter. Tsunami Donggala yang lalu dipicu oleh longsoran dasar laut akibat Gempabumi Donggala dengan jenis mekanisme gempabumi mendatar mengiri (sinistral).

"Berdasarkan bukti-bukti di lapangan diketahui bahwa patahan gempa berasal dari daratan menyilang hingga ke lautan mulai dari Labean hingga ke ujung Teluk Palu. Patahan membelah lautan Teluk Palu menyebabkan tanah tenggelam (amblas) sehingga merubah batimetri (kedalaman laut-red) yang asalnya dangkal berubah menjadi dalam," papar Cahyo

Cahyo mengatakan dari hasil survey yang dilakukan BMKG setelah gempa dan tsunami menerjang, diketahui bahwa ketinggian dan jarak terjangan tsunami bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya. Hal tersebut dimungkinkan akibat kelandaian pantai dan bangunan penghalang atau keberadaan dataran tinggi. Tim survey BMKG sendiri melakukan observasi lapangan dan wawancara di 27 titik berbeda sepanjang Teluk Palu sejak tanggal 29 September lalu. Mulai dari Donggala sebelah Barat, Kota Palu, Donggala Timur dan Utara serta Labean titik terdekat dengan pusat gempabumi.

Sebagai contoh, lanjut Cahyo, Pelabuhan Pantoloan dengan tinggi tsunami menjadi 10,2 meter menerjang hingga jarak 216 meter masuk ke daratan dari bibir pantai. Sedangkan di Tondo, Palu tinggi tsunami yang mencapai 10,7 meter mampu menerjang daratan sejauh 165 meter.

"Jarak terjangan tsunami terjauh adalah di kawasan Hotel Mercure, Palu yang mencapai 468,8 meter dari bibir pantai padahal tinggi tsunami hanya 9,2 meter," ujarnya.

Cahyo mengungkapkan, hasil survey inilah yang menjadi dasar BMKG mendorong Pemerintah Sulteng untuk merevisi Tata Ruang dan Wilayah di wilayahnya. Tidak hanya itu, BMKG berharap Pemerintah Sulteng bisa terus berupaya meningkatkan mitigasi bencana dengan mengedukasi masyarakat setempat untuk tetap waspada dan siap menghadapi bencana. (*)

Dalam pemantauan kerentanan tsb Kepala BMKG juga didampingi Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu.

Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

 

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024