Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2019 di Indonesia

  • Mohammad Ridwan
  • 06 Mar 2019
Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2019 di Indonesia

Posisi geografis Indonesia yang strategis, terletak di daerah tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, dikelilingi oleh luasnya lautan, menyebabkan wilayah Indonesia memiliki keragaman cuaca dan iklim. Keragaman iklim Indonesia dipengaruhi fenomena global seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudera Hindia barat Sumatera hingga timur Afrika, keragaman iklim juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah Indonesia.

Sementara kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu. Berdasarkan hasil analisis data rata-rata 30 tahun terakhir (1981-2010), secara klimatologis wilayah Indonesia memiliki 407 pola iklim, dimana 342 pola merupakan Zona Musim (ZOM) terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau, sedangkan 65 pola lainnya adalah Non Zona Musim (Non ZOM). Daerah Non ZOM pada umumnya memiliki 2 kali maksimum curah hujan dalam setahun (pola Ekuatorial) atau daerah dimana sepanjang tahun curah hujannya selalu tinggi atau rendah.

Prakiraan Musim Kemarau 2019 secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Awal Musim Kemarau 2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya mulai bulan April 2019 sebanyak 79 ZOM (23.1%), Mei 2019 sebanyak 99 ZOM (28.1%), dan Juni 2019 sebanyak 96 ZOM (28.1%). Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Kemarau terjadi pada Januari 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%), Februari 2019 sebanyak 3 ZOM (0.9%), Maret 2019 sebanyak 22 ZOM (6.4%), Juli 2019 sebanyak 25 ZOM (7.3%), Agustus 2019 sebanyak 14 ZOM (4.1%), September 2019 sebanyak 2 ZOM (0.6%), dan Oktober 2019 1 ZOM (0.3%).
  2. Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981- 2010) di 342 Zona Musim, Awal Musim Kemarau 2019, sebagian besar daerah yaitu 126 ZOM (36.8%) mundur jika dibandingkan dengan rata-ratanya dan 125 ZOM (36.6%) sama terhadap rata- ratanya. Sedangkan yang maju terhadap rata-rata 91 ZOM (26.6%).
  3. Sifat Hujan selama Musim Kemarau 2019 di sebagian besar daerah yaitu 214 ZOM (62.5%) diprakirakan Normal dan 82 ZOM (24.0%) Bawah Normal. Sedangkan Atas Normal yaitu sebanyak 82 ZOM (13.5%).
  4. Puncak Musim Kemarau 2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Agustus 2019 sebanyak 233 ZOM (68.1%). Sedangkan beberapa daerah lainnya puncak Musim Hujan terjadi pada bulan Februari 2019 sebanyak 2 ZOM (0.6%), Juni 2019 sebanyak 4 ZOM (1.2%), Juli 2019 sebanyak 44 ZOM (12.9%), September 2019 sebanyak 50 ZOM (14.9%), Oktober 2019 sebanyak 6 ZOM (1.8%), November 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%), dan Desember 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%).

- Klik tautan ini jika PDF di atas tidak muncul.

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024