Prakiraan Musim Hujan Tahun 2018-2019 di Indonesia

  • Mohammad Ridwan
  • 05 Sep 2018
Prakiraan Musim Hujan Tahun 2018-2019 di Indonesia

Posisi geografis Indonesia yang strategis, terletak di daerah tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, dikelilingi oleh luasnya lautan, menyebabkan wilayah Indonesia memiliki keragaman cuaca dan iklim. Keragaman iklim Indonesia dipengaruhi fenomena global seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudera Hindia barat Sumatera hingga timur Afrika, keragaman iklim juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah Indonesia.

Sementara kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu. Berdasarkan hasil analisis data rata-rata 30 tahun terakhir (1981-2010), secara klimatologis wilayah Indonesia memiliki 407 pola iklim, dimana 342 pola merupakan Zona Musim (ZOM) terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau, sedangkan 65 pola lainnya adalah Non Zona Musim (Non ZOM). Daerah Non ZOM pada umumnya memiliki 2 kali maksimum curah hujan dalam setahun (pola Ekuatorial) atau daerah dimana sepanjang tahun curah hujannya selalu tinggi atau rendah.

Prakiraan Musim Hujan 2018/2019 secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :

1)Awal Musim Hujan 2018/2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya mulai bulan Oktober 2018 sebanyak 78 ZOM (22.8%), November 2018 sebanyak 147 ZOM (43.0%), dan Desember 2018 sebanyak 85 ZOM (24.9%). Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Hujan terjadi pada Agustus 2018 sebanyak 12 ZOM (3.5%), September 2018 sebanyak 10 ZOM (2.9%), Maret 2019 sebanyak 5 ZOM (1.5%), April 2019 sebanyak 4 ZOM (1.2%) dan Mei 2019 1 ZOM (0.3%).

2)Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981- 2010) di 342 Zona Musim, Awal Musim Hujan 2018/2019, sebagian besar daerah yaitu 237 ZOM (69.3%) mundur jika dibandingkan dengan rata-ratanya dan 78 ZOM (22.8%) sama terhadap rata-ratanya. Sedangkan yang maju terhadap rata-rata 27 ZOM (7.9%).

3)Sifat Hujan selama Musim Hujan 2018/2019 di sebagian besar daerah yaitu 246 ZOM (71.9%) diprakirakan Normal dan 69 ZOM (20.2%) Bawah Normal. Sedangkan Atas Normal yaitu sebanyak 27 ZOM (7.9%).

Puncak Musim Hujan 2018/2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Januari 2019 sebanyak 150 ZOM (43.9%) dan Februari 2019 sebanyak 77 ZOM (22.5%). Sedangkan beberapa daerah lainnya puncak Musim Hujan terjadi pada bulan September 2018 sebanyak 2 ZOM (0.6%), Oktober 2018 sebanyak 4 ZOM (1.2%), November 2018 sebanyak 24 ZOM (7.0%), Desember 2018 sebanyak 50 ZOM (14.6%), Januari 2019 sebanyak 149 ZOM (43.6%), Februari 2019 sebanyak 76 ZOM (22.2%), Maret 2019 sebanyak 14 ZOM (4.1%), April 2019 sebanyak 3 ZOM (0.9%), Mei 2019 5 ZOM (1.5%), Juni 2019 sebanyak 7 ZOM (2.0%), dan Juli 2019 sebanyak 6 ZOM (1.8%).

- Klik tautan ini jika PDF di atas tidak muncul.

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024