Focus Group Discussion (FGD) Pusat Unggulan IPTEK (PUI) Klaster Mitigasi Bencana

  • Rachmat Hidayat
  • 23 Okt 2018
Focus Group Discussion (FGD) Pusat Unggulan IPTEK (PUI) Klaster Mitigasi Bencana

Jakarta - Senin (22/10/2018), BMKG menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh 11 Pusat dari 5 lembaga kementrian (L/K) yaitu LAPAN, BPPT, KLHK, LIPI, dan BMKG yang tergabung dalam Pusat Unggulan Iptek (PUI) Klaster mitigasi bencana yang dikelola oleh Kemenristekdikti di Gedung Serbaguna BMKG.

Bergabungnya beberapa lembaga penelitian dan pengembangan ke dalam PUI bidang mitigasi kebencanaan bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan upaya penelitian dan pengembangan untuk saling melengkapi data, meningkatkan efisiensi sumberdaya dan mengurangi kegiatan penelitian yang overlap serta keberulangan. Upaya dalam menghasilkan end product untuk mendukung mitigasi bencana diinisiasi dengan dibentuknya sistem klaster mitigasi bencana.

Tujuan dari FGD ini adalah membahas dan menyusun proposal kegiatan riset terapan terkait kegiatan mitigasi bencana dengan produk akhir yang dapat dioperasionalkan. Adapun luaran yang dihasilkan dari FGD ini adalah proposal riset mitigasi bencana hidrometeorologi, bencana geologi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta naskah akademik kebijakan perubahan iklim.

Dalam sambutan sekaligus pembukaan acara oleh Kepala Puslitbang, Dr. Urip Haryoko, M.Si, mengingatkan kembali Permenristekdikti No. 40 Tahun 2018 tentang Prioritas Riset Nasional Tahun 2017 - 2019, sehingga riset yang dilakukan harus sejalan dengan Permen tersebut dan pentingnya hilirisasi riset menuju operasional (science to operational).

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator klaster mitigasi bencana PUI, Syarif Budhiman, M.Sc menyampaikan bahwa dalam sinergi harus ada interaksi dan komunikasi antar lembaga PUI. Koordinator lembaga PUI (L1) menyusun proposal riset mulai dari perencanaan hingga luaran yang akan dihasilkan, dan lembaga PUI lainnya melengkapi proposal tersebut sesuai dengan kelebihan lembaga PUI tersebut.

Dalam kegiatan FGD yang berlangsung selama 2 hari, dipaparkan 4 draft proposal kegiatan klaster mitigasi bencana, yaitu (1) Mitigasi Bencana Geologi, dengan koordinator Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, (2) Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan, dengan koordinator Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah BPPT, (3) Mitigasi Bencana Hidrometeorologi dengan koordinator Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai KLHK, dan (4) Penyusunan Naskah Akademik Kebijakan Perubahan Iklim dengan koordinator Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim KLHK.

Kesimpulan FGD ini diantaranya adalah perlunya identifikasi peran masing-masing PUI yang terlibat dalam proposal riset bersama secara jelas sehingga tidak terjadi tugas yang overlap, kemudian perlu adanya percepatan penyusunan MoU/PKS sebagai lampiran proposal riset bila diperlukan.

Selain itu, FGD juga menghasilkan rekomendasi seperti perlu adanya sharing data antara lembaga PUI untuk optimalisasi sinergi. Hasil FGD ini akan dipaparkan dalam press conference PUI Kemenristekdikti pada tanggal 11 Desember 2018. Acara FGD ini ditutup oleh Kapuslitbang BMKG, Selasa (23/10/2018).

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024