Butuh 9 Satelit untuk Tingkatkan Deteksi Dini Bencana di Indonesia

  • Rachmat Hidayat
  • 23 Mar 2022
Butuh 9 Satelit untuk Tingkatkan Deteksi Dini Bencana di Indonesia

Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyebut Indonesia membutuhkan setidaknya sembilan satelit untuk bisa meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, cepat dan tepat.

Hal itu disampaikan Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG Muhamad Sadly secara daring pada kesempatan Kuliah Umum dalam Rangka Memperingati Hari Meteorologi Dunia ke-72 Tahun 2022, Selasa (22/3).

Adapun kuliah umum tersebut bertema "Rancang Bangun Satelit Operasional Penginderaan Jauh dalam Rangka Peringatan Dini dan Aksi Dini Bencana Hidrometeorologi dan Gempabumi".

Sampai saat ini, kata dia, Indonesia belum memiliki satelit operasional indera jarak jauh (inderaja) yang melakukan pemantauan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas. Ia juga memaparkan alasan Indonesia membutuhkan minimal 9 satelit agar tidak ada informasi peringatan dini yang terlambat disampaikan kepada otoritas terkait dan masyarakat.

"Kita memerlukan 9 satelit untuk melakukan orbital dan tanpa jeda. Kalau hanya satu satelit kita butuh 100 menit jeda sehingga tidak bisa dipakai untuk peringatan dini bencana. Itu sudah direncanakan ada 9 satelit mengorbit pada 2024 dan itu tidak ada jeda," katanya.

Menurut dia, akan sangat sulit memantau Indonesia dengan melakukan patroli dengan pesawat terbang atau piranti terbang nirawak secara terus menerus di wilayah yang sangat luas karena akan menguras sumber daya manusia dan biaya.

"Tidak mungkin kita melakukan 'air borne' yang sangat mahal jatuhnya. Kita butuh satelit untuk monitoring secara berkelanjutan. Ini sudah waktunya kita wujudkan untuk memantau kondisi sumber daya alam dan kebencanaan di Tanah Air kita yang sangat membutuhkan, karena memiliki cakupan wilayah yang sangat luas sekali," katanya.

Sadly mengatakan Indonesia memiliki ancaman bencana kompleks, misalnya banjir, longsor, erupsi, gempa dan tsunami. Dalam melakukan pencegahan dan mitigasi multibencana tersebut tidak bisa ditangani dengan cara biasa harus ada terobosan, salah satunya lewat satelit pemantauan.

"Salah satu teknologi yang perlu kita akslerasi, diimplementasikan di Indonesia adalah bagaimana memiliki satelit inderaja untuk kebencanaan. Saya pikir ini tidak terlalu sulit jika kita ingin bersatu. Kita bersatu wujudkan cita-cita ini, dan semua sudah ada tinggal kita bersinergi melakukan koordinasi dan sama-sama menyiapkan alokasi anggaran untuk digunakan secara bersama guna menanggulangi bencana-bencana yang ada di Tanah Air yang semakin meningkat," katanya.

Ia mengatakan jika tidak menggunakan satelit maka deteksi dini bencana akan sangat lama. Belum lagi saat bencana terjadi terdapat potensi sejumlah infrastruktur di permukaan bumi seperti listrik dan telekomunikasi lumpuh. Hanya dengan satelit segala kendala telekomunikasi dapat diatasi sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara seksama sehingga mampu menekan munculnya korban.

"Terkait kebencanaan, perlu diketahui bahwa saat bencana terjadi baik bencana gempa bumi, tsunami, bencana-bencana hidrometeorologi lainnya, sistem telekomunikasi elektrik itu akan kolaps atau mati. Kita tidak bisa menggunakan komunikasi berbasis handphone dan sebagainya karena kolaps apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu, tidak ada komunikasi yang bisa dilakukan. Bagaimana masyarakat bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada komunikasi andal, sehingga diperlukan satelit berbasis komunikasi yang bisa digunakan saat terjadi gempa yang sangat kuat sekali, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi untuk menyelamatkan diri," kata dia.

Sementara itu di forum kuliah umum yang sama, Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli satelit asal Indonesia yang kini bekerja di Chiba University (Jepang) mengatakan dalam membuat satelit memerlukan proses yang panjang guna mendapatkan ide dan membangun modelnya.

Selanjutnya, kata dia, pembangunan satelit perlu membuat sensor "remote sensing", dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, kemudian dibangun kemudian diluncurkan ke orbit bumi.

Ia mengatakan dalam mendeteksi bencana tidak bisa hanya mengandalkan sensor yang dipasang di permukaan bumi karena tingkat akurasinya akan kalah dibandingkan tanpa kolaborasi menggunakan satelit.

"Kita perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, kita ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau kita pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana kurang akurat," katanya.

Josaphat mengatakan, Indonesia dengan satelit yang memadai bisa memantau keadaan permukaan bumi secara waktu nyata. "Kita bisa memantau secara realtime, kita pantau angin topan tidak mungkin terbangkan pesawat," kata dia.

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024