BMKG Gelar Gender Conference, Dorong Komunitas Internasional Persempit Kesenjangan Gender

  • Ibrahim
  • 08 Mar 2024
BMKG Gelar Gender Conference, Dorong Komunitas Internasional Persempit Kesenjangan Gender

Bali (08/03) - BMKG menggelar Gender Conference yang dihelat bersamaan dengan "the Third Session of the Commission for Weather, Climate, Water and Related Environmental Services & Applications" (SERCOM-3) itu diikuti oleh 139 peserta dari 94 negara secara hybrid. SERCOM-3 berlangsung pada 4-9 Maret 2024 di Bali International Convention Centre (BICC), Nusa Dua, Bali.

Acara yang digelar bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional tersebut mengusung tema "Promoting Gender Equality and Women's Empowerment and Leadership in climate issues and through the Early Warnings for All initiative".

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong komunitas internasional untuk mempersempit kesenjangan gender dalam hal aksesibilitas sistem peringatan dini. Menurutnya, isu ini sangat penting untuk diperjuangkan jika ingin mewujudkan peringatan dini untuk semua (early warning for all).

"Mitigasi kesenjangan gender ini mendesak untuk dilakukan sehubungan dengan derasnya arus perubahan iklim," ungkap Dwikorita yang juga merupakan Wakil Tetap Indonesia untuk World Meteorological Organization (WMO).

Dwikorita mengatakan, untuk mencapai keseimbangan dan inklusivitas gender, penting untuk memastikan bahwa perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok paling rentan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh akses yang equal terhadap early warning for all, tumbuh, dan menyumbangkan perspektif unik mereka kepada masyarakat.

"Kita harus memasukkan pengarusutamaan gender dalam semua aspek strategi, inisiatif, dan kegiatan WMO, terutama yang berkaitan dengan layanan dan infrastruktur, pada tingkat implementasi global, regional, dan nasional," tuturnya.

Lebih lanjut, Dwikorita menyampaikan bahwa untuk mewujudkan Peringatan Dini untuk Semua (EW4ALL), sangat penting untuk menyadari bahwa perempuan memainkan peran penting dalam menjangkau kelompok yang paling rentan. Kemampuan dan perspektif unik perempuan memungkinkan mereka untuk secara efektif terlibat dan mendukung komunitas yang terpinggirkan selama masa krisis.

Di Indonesia sendiri, kata dia, populasi perempuan hampir mencapai setengah dari total penduduk, sementara populasi anak mencapai sepertiga dari total penduduk. Maka dari itu, penting untuk memastikan bahwa seluruh kelompok rentan tersebut dapat mengakses sistem peringatan dini untuk meminimalisir risiko akibat perubahan iklim, termasuk MHEWS (Multi-hazard Early Warning System).

"Kita perlu terus menutup kesenjangan antara perempuan, laki-laki, penyandang disabilitas, dan kelompok paling rentan, dalam hal tanggung jawab yang diberikan, kegiatan yang dilakukan, akses dan kontrol terhadap sumber daya, informasi, dan media, serta pemberdayaan mereka dalam pengambilan keputusan," imbuhnya.

Dwikorita menekankan pentingnya strategi manajemen bencana yang proaktif dan upaya ketangguhan masyarakat untuk mereduksi potensi dampak bencana akibat perubahan iklim. Menurutnya, langkah-langkah pencegahan, respons darurat, dan pemulihan pasca bencana yang melibatkan perempuan dan anak menjadi sangat penting. Keterlibatan mereka dalam kajian risiko bencana, mitigasi, penyusunan rencana pemulihan, dan rehabilitasi membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil.

Sementara itu, Sekjen WMO Celeste Saulo menekankan bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam sektor terkait cuaca dan iklim, sangat efektif dalam memobilisasi masyarakat saat terjadi bencana, dan berada di garis depan pemulihan. Namun, mereka sering kali menghadapi hambatan sistemik terhadap partisipasi penuh dan kepemimpinan.

"Dengan mendobrak hambatan tersebut, kita membuka potensi besar mereka (perempuan-red) untuk membangun masyarakat yang berketahanan," tegasnya.

Turut hadir pula sebagai pembicara kunci, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati. Konferensi ini juga dihadiri sejumlah tokoh perempuan dalam Sistem Peringatan Dini di Indonesia, diantaranya Ni Luh Ayu Moramowati (Subak Sujana Sukowati Kab. Gianyar, Provinsi Bali), Laura Silpa Marcharet Runggeari S.Tr Met (Observer & Forecaster - Pilot Balloon Observer of BMKG), Elvita Octa Yolinda (AWS Equipment Technician of BMKG), Ota Welly Jenni Thalo (Head of Fransiskus Xaverius Seda Meteorological Station - Maumere Sikka), Era (Champion Tsunami Ready), dan Luh Sri Sudharmini (Headmaster SD 2 - Tanjung Benoa). (*)

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024