BMKG: Akurasi Prakiraan Iklim dan Cuaca Maritim Perlu Ditingkatkan

  • Dwi Rini
  • 28 Jun 2018
BMKG: Akurasi Prakiraan Iklim dan Cuaca Maritim Perlu Ditingkatkan

Jakarta, (28/6) Indonesia memiliki luas perairan hampir mencapai 65% dari keseluruhan luas wilayahnya. Interaksi laut - udara di kawasan tropis sangat komplek dan menjadi pendorong utama kejadian cuaca dan iklim ekstrem (seperti siklon tropis, kekeringan, banjir, puting beliung, dan gelombang tinggi).

Menyadari kondisi ini, menurut UU No. 31 tahun 2009, BMKG memiliki mandat untuk memberikan pelayanan informasi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika guna meningkatkan keselamatan publik, transportasi dan infrastruktur sehingga BMKG dituntut untuk memberikan informasi cuaca, iklim, dan gempa bumi secara cepat tepat dan akurat, terlebih saat ini sering terjadi kejadian cuaca ekstrem sehingga perlu memberikan informasi peringatan dini cuaca dan iklim secara cepat, tepat, dan akurat, seperti yang diutarakan Kepala BMKG, Dr. Dwikorita Karnawati saat memberikan keterangan pers di Kantor BMKG, Kamis Siang.

Dwikorita menambahkan BMKG tidak hanya memerlukan alat observasi yang handal tetapi perlu daya analisa yang handal karena saat ini terjadi perubahan iklim global sehingga yang mengakibatkan fenomena atmosfer dan ocean sangat cepat berubah. Contohnya musim kemarau terjadi cuaca ekstrim.

"Kondisi ini menuntut BMKG untuk terus melakukan lompatan-lompatan inovasi dan kapasitas daya analisa dan instrument teknologi sehingga BMKG melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) USA dengan dukungan U.S. Embassy," tambah Dwikorita.

Seperti yang diutarakan Dwikorita bahwa sejak tahun 2006 BMKG-NOAA sudah berkolaborasi untuk proyek bersama perihal observasi di Samudera Hindia dan Training Workshop untuk peningkatan SDM pegawai BMKG.

Pada tahun ini, BMKG menyelenggarakan 13th Annual Indonesia-U.S. Ocean and Climate Observations, Analysis and Applications Partnership Workshop yang diselenggarakan atas kerjasama BMKG dengan NOAA, USA dengan mengambil tema "Improving Seasonal Predictability and Marine Weather Services Capacity Over Maritime Continent".

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guna menghasilkan tingkat akurasi prakiraan iklim dan pelayanan cuaca maritim.

Pada kerjasama ini pun, BMKG secara rutin mengirimkan dua orang staf teknis (Forecaster/Analist) untuk melakukan training selama tiga bulan di kantor NOAA di Wasington DC, dan kesempatan untuk sekolah program Master dan Doktoral di Amerika Serikat.

"Tahun ini, BMKG berhasil melakukan lompatan inovasi prakiraan cuaca, yang tahun sebelumnya presisi untuk ketelitian tingkat kabupaten, tetapi tahun ini hingga tingkat kecamatan," imbuh Dwikorita. Sementara untuk peringatan dini, BMKG tahun ini sudah dapat memberikan peringatan dini 6 jam sebelum kejadian, yang sebelumnya hanya mampu 3 jam sebelum kejadian," tambah Dwikorita.

Disela-sela penjelasan, Dwikorita menuturkan setiap tahun, melalui kerjasama dengan NOAA, BMKG melakukan pemeliharaan buoy guna pengamatan cuaca dengan mengirimkan tim ekspedisi untuk melakukan pengamatan di Samudra dan pemeliharaan buoy untuk meningkatkan keakurasian data cuaca dan iklim.

Sementara perwakilan dari NOAA, Sydney Thurston, Ph.D. mengutarakan bahwa kegiatan 13th Annual Indonesia-U.S. Ocean and Climate Observations, Analysis and Applications Partnership Workshop ini untuk membangun kerjasama dalam observasi global di Samudera Hindia untuk penelitian dan prakiraan cuaca dan iklim.

"Kegiatan ini pun untuk meningkatkan daya analisis BMKG untuk prediksi cuaca lebih panjang, tidak hanya sekedar 3 hari atau 6 hari kedepan, tetapi dapat mencapai 2 minggu kedepan, 3 minggu ke depan. Bahkan 6 minggu kedepan karena akhir-akhir ini terjadi fenomena cuaca yang dipengaruhi adanya MJO (Madden Julian Oscillation)," imbuh Sydney Thurston.

Dwikorita mengharapkan kerjasama ini diharapkan dapat meningkatkan daya analisis dan analisis numerik berbasis data sehingga diharapkan adanya peningkatan kualitas data karena adanya peningkatan kualitas alat dan observasi, yaitu pengamatan di Samudra yang dulunya hanya pengamatan satelit dan radar dan saat ini sedang ditingkatkan big data dan artificial intelligence sehingga diiharapkan dapat menghasilkan data yang lebih akurat untuk 1 tahun ke depan.

Sementara dari U.S Embassy-Jakarta, Susan Shultz mengutrakan bahwa dirinya mrendukung kegiatan kerjasama BMKG dengan NOAA, diharapkan melalui kerjasama ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahanam cuaca. "Saya harap BMKG dan NOAA dapat menunjukkan peran penting pengamatan di Samudera Hindia seperti Ina-Prima," tutur Susan.

Acara pembukaan workshop dihadiri oleh Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. sebagai Kepala BMKG, Susan Shultz dari US Embassy, Acting Deputy Chief of Mission Perwakilan Kedutaan Amerika Serikat dan Sydney Thurston, Ph.D. dari Overseas Program Development NOAA sebagai perwakilan Pakar dan Narasumber acara.

Kegiatan yang dilakukan selama dua hari dari 27-29 Juni di Hotel Grand Mercure Jakarta ini menghadirkan para pakar iklim dan kelautan dari NOAA dan Universitas di Amerika, serta peserta workshop yang diikuti 35 forecaster Klimatologi dan 25 forecaster Meteorologi Maritim termasuk dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG dan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG).

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024